CATEGORY: FKIP Unpas By Gaos Muma 08 Jul 2021
Kegiatan Fauzia Nur Meilda, mahasiswi jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pasundan saat mengikuti program Kampus Mengajar di SDS Plus Tunas Mandiri, Kabupaten Purwakarta. (Foto: Dok. Pribadi)
BANDUNG, unpas.ac.id – Program Kampus Mengajar yang dicanangkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) berhasil mengundang animo ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Di angkatan pertama, kurang lebih 15 ribu mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta lolos seleksi akhir dari total 36 ribu peserta. Sebanyak 101 mahasiswa Universitas Pasundan turut berpartisipasi dan mengabdikan diri di sekolah dasar di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Salah satunya Fauzia Nur Meilda, mahasiswi angkatan 2017 prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) asal Purwakarta. Ia berbagi pengalaman dan manfaat yang dapatkan selama mengikuti Kampus Mengajar.
Bantu memajukan pendidikan
Mahasiswi yang akrab disapa Meilda ini terdorong untuk ikut serta program Kampus Mengajar karena keinginannya membangun dan membantu memajukan pendidikan di daerah 3T. Sebagai mahasiswi jurusan pendidikan, Meilda juga tergerak untuk mengimplementasikan ilmu kependidikan yang telah ia dalami selama kuliah.
“Walaupun saya dari Pendidikan Biologi dan umumnya dipersiapkan untuk mengajar di SMA, tapi saya ingin merasakan bagaimana menghadapi siswa SD, terutama dalam memahami karakternya,” kata Meilda, Rabu (7/7/2021).
Ia ditempatkan di sekolah dalam lingkup domisilinya, yaitu SDS Plus Tunas Mandiri, Kp. Bendasari, Desa Cipinang, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Purwakarta. Meski masuk wilayah Kabupaten Purwakarta, namun perjalanan yang mesti ia tempuh memakan waktu cukup lama, sekitar 1,5 jam dari kediamannya di Kecamatan Wanayasa.
“Saya bersama 7 mahasiswa dari kampus lain ditempatkan di sekolah tersebut yang ternyata sangat kekurangan tenaga pendidik, hanya ada 4 guru tetap. Fasilitas sekolah juga jauh dari kata layak, metode pengajarannya konvensional, dan belum melek teknologi,” terangnya.
Meilda mengatakan, gedung sekolah adalah bekas pasar yang dialihfungsikan. Kondisi bangunan kurang terawat, jumlah ruangan tidak memadai, sehingga satu ruang terpaksa digunakan untuk 2 sampai 3 kelas. Siswa juga harus duduk di lantai tanpa alas apapun.
Terapkan model pembelajaran berbasis teknologi
Mengingat minimnya penggunaan teknologi dalam proses belajar mengajar, ia dan kawan-kawannya berupaya mengaplikasikan model pembelajaran modern kepada siswa. Berbekal perangkat teknologi, Meilda mengajarkan literasi dan numerasi dengan cara baru agar siswa tidak mudah bosan.
“Di tengah kondisi pandemi, tidak mungkin menerapkan pola belajar daring. Dengan keterbatasan itu, bagaimana siswa akan memperoleh ilmu? Jadi, mereka tetap datang ke sekolah setiap Rabu, Kamis, Jumat. Kami bentuk rombongan belajar karena kegiatan tatap muka masih dibatasi,” ujarnya.
Berdasarkan arahan saat pembekalan, peserta Kampus Mengajar memang dituntut untuk mengadaptasikan teknologi, baik kepada siswa maupun guru. Oleh karena itu, Meilda mengemas metode pembelajarannya berbasis video dan praktik.
“Misalnya pada pelajaran mengenal, saya cari video animasi di YouTube, lalu saya jelaskan sekomprehensif mungkin karena waktunya sangat terbatas, baru mengajak siswa keluar untuk pengenalan langsung. Saya buat suasana belajar yang mengasyikkan, karena mereka terbiasa dengan metode ceramah atau penuturan lisan oleh guru,” jelasnya.
Tak luput dari kendala
Selain terkendala jarak karena sekolah berada di lingkungan pedesaan, akses menuju lokasi juga sulit dilalui. Kontur jalan didominasi batuan, serta cukup gelap karena harus melewati perkebunan jati, karet, dan bambu.
Di samping itu, karena sosialisasi belum merata, pihak sekolah justru mengira kedatangan peserta Kampus Mengajar bertujuan menggantikan guru, sehingga tugas mengajar diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa. Kurangnya edukasi juga membuat guru sempat menganggap mahasiswa bermaksud mengubah sistem administrasi dan pengajaran.
“Padahal kami mau membantu memperbaiki supaya sistem administrasi seperti pembuatan presensi siswa, kalender akademik, dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bisa lebih efektif karena masih manual dan belum rapi. Kami dikira menggantikan guru, padahal hanya mendampingi dan membantu supaya bisa adaptasi teknologi,” tuturnya.
Kesadaran pendidikan rendah
Karena mayoritas masyarakat di desa tersebut berpendidikan rendah dan tidak mengenyam bangku sekolah, orang tua lebih mengarahkan anak-anaknya untuk berprofesi sebagai petani maupun peternak ketimbang menempuh pendidikan formal.
“Pembentukan pola pikir itulah yang membuat siswa kesulitan membaca, menulis, dan berhitung, bahkan sampai kelas 6. Dari segi sikap juga belum paham sopan santun. Saya pun masih menemukan perilaku bullying,” lanjut Meilda.
Meilda selalu menekankan kepada siswa agar saling menghargai teman dan memberikan apresiasi jika mereka mampu menuntaskan tugas atau menunjukkan perkembangan.
Senang menjadi bagian Kampus Mengajar
Meski mengalami kendala, menguras tenaga, dan mesti bersabar mengatur siswa, namun ia mengaku menikmati programnya. Ia senang bisa memperkenalkan metode belajar kepada siswa yang belum tersentuh teknologi.
“Saya senang bisa membantu mereka supaya lebih paham teknologi, dan merasakan cara belajar yang tidak monoton. Setidaknya saya menambah antusias belajar siswa, karena lambat laun saya tahu bahwa mereka ternyata punya cita-cita tinggi. Bersyukurlah kalian yang bisa bersekolah di tempat yang fasilitas dan sistem pengajarannya baik. Saya harap, pihak sekolah juga mengaplikasikan secara berkelanjutan mengenai apa yang pernah kami bantu,” tutupnya. (Reta)*