CATEGORY: UNPAS By 23 Okt 2018
Miftahul Jannah
unpas.ac.id
Rektor Universitas Pasundan Prof. Dr. Ir Eddy Yusuf, M.Si., M Kom., sangat mengapresiasi Miftahul Jannah, mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Pasundan yang menjadi atlet yudo tuna netra Indonesia dan didiskualifikasi pada Asian Para Games 2018 karena tidak bersedia melepas hijabnya.
“Miftahul Jannah kebanggaan kami . Langkah mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Unpas itu harus berujung hanya di matras pertandingan Yudo Asian Para Games. Tadinya Miftah bercita-cita ingin meraih medali emas seperti mahasiswa Pasundan lainnya di Asean Games (Hanifan Yudani Kusumah), Saya berharap, Miftah jangan bersedih. Segera bangkit untuk membela negara karena banyak jalan lain untuk meraihnya,” kata Prof. Dr. Eddy Jusuf.
Rektor Unpas tetap akan mengapresiasi. Kalau sudah kembali ke Bandung, Rektor akan member apresiasi berupa beasiswa karena ke-Istiqomahan-nya. Ketika berita ini dicetak, Miftahul Jannah sedang pulang kampung ke Aceh dan mendapat sambutan meriah di sana. “Miftah dijadwalkan kembali kuliah di Unpas pada awal November mendatang,” kata Ketua Prodi Bahasa Indonesia dan Daerah, Dr. Titin Nurhayatin, M.Pd.
Keistiqomahan Miftahul Jannah mendapat apresiasi pula dari keluarga besar Universitas Pasundan Bandung. Mereka sangat bangga karena Miftah telah bersiap sesuai dengan visi Unpas yakni menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan Budaya Sunda.
Miftahul Jannah menjadi berita utama di media massa setelah batal bertarung di Asian Para Games 2018 karena tidak menyanggupi aturan melepas jilbab. Miftahul urung bertanding meski telah turun ke matras pada pertandingan blind judo kelas 52kg, Senin 8 Oktober 2018.
Menurut penanggung jawab judo Asian Para Games 2018, Ahmad Bahar, Miftahul Jannah terpaksa didiskualifikasi karena ada peraturan larangan menggunakan jilbab demi keselamatan atlet dari federasi. “Dia mendapatkan diskualifikasi dari wasit karena ada aturan wasit dan aturan tingkat internasional di Federasi Olahraga Buta Internasional (IBSA) bahwa pemain tidak boleh menggunakan jilbab dan harus melepas jilbab saat bertanding,” kata Ahmad Bahar dikutip dari Antara.
Ahmad menjelaskan, aturan ini sudah ada sejak lama. Aturan itu juga sangat jelas menyebutkan bahwa dalam judo jilbab dikhawatirkan membahayakan keselamatan atlet. Atlet yang menggunakan jilbab berpotensi dimanfaatkan lawan untuk mencekik leher dan itu bisa berakibat fatal.
“Hal yang perlu ditekankan adalah juri bukan tidak memperbolehkan kaum muslim untuk ikut pertandingan. Aturan internasional mulai 2012, setiap atlet yang bertanding pada cabang judo tidak boleh berjilbab karena dalam pertandingan ada teknik bawah dan jilbab akan mengganggu,” ujar Ahmad Bahar.
Ahmad menegaskan, aturan ini murni karena alasan keselamatan dan bukan diskriminasi atlet. “Kami menerima aturan bukan tidak boleh atlet pakai jilbab, bukan seperti itu. Tidak diperbolehkan menggunakan jilbab karena ada akibat yang membahayakan,” ujar Ahmad Bahar.
Miftahul Jannah sebenarnya siap bertanding dan sudah berada di matras. Namun kemudian, wasit atau juri memberi tahu Miftahul Jannah ada aturan untuk tidak menggunakan jilbab. Mengetahui hal ini, Ahmad Bahar sudah mencoba untuk mencari solusi dengan berbicara kepada Miftahul Jannah. “Kami sudah mengarahkan atlet tetapi dia tidak mau (mengikuti aturan). Bahkan, dari Komite Paralimpiade Nasional (NPC), dan tim Komandan Kontingen Indonesia sudah berusaha,” ujar Ahmad Bahar.
Tidak Menyesal
Kepada dosen Universitas Pasundan, Miftahul Jannah, menyatakan tak menyesal meski didiskualifikasi dari Asian Para Games 2018. Miftahul adalah atlet yang didiskualifikasi pada laga judo kelas 52 kg karena enggan melepas jilbab.
Miftah mengatakan, dari awal, dia memang sudah mengetahui adanya regulasi tersebut. Namun, dia berusaha untuk mendobraknya. “Rasa menyesal tidak ada karena itu pendirian Miftah. Dari awal, Miftah sudah tahu. Mungkin ada peluang untuk tampil. Namun, ketika mendengar di technical meeting yang sesungguhnya memakai jilbab tidak boleh, ya sudah Miftah berkomitmen tidak akan ikut tanding jika harus dibuka,” kata Miftah dalam konferensi pers di GBK Arena, Jakarta, Selasa (9/10/2018), sebagaimana disiarkan kompas.com.
Miftah menyatakan bahwa dirinya menghormati regulasi tersebut. Menurut dia, regulasi memang harus ditegakkan. Namun, di sisi lain, ia menilai prinsip keyakinannya juga harus dihormati.
“Miftah ingin mempertahankan prinsip Miftah, tidak hanya untuk Miftah sendiri, tetapi juga atlet-atlet muslimah lainnya agar terus mempertahankan jilbabnya,” ucap atlet asal Aceh itu.***